KABINET Kerja pemerintahan Presiden Jokowi secara perlahan semakin menunjukkan kinerja positif. Hal itu setidaknya ditunjukkan menurunnya ketimpangan pendapatan di masyarakat, yang berdasarkan rasio gini menurun dari 0,41 pada Maret 2015 menjadi 0,40 pada September 2015.
Rasio gini bernilai 0—1. Bernilai 0 jika pendapatan setiap orang sama dan bernilai 1 jika seluruh pendapatan dimiliki hanya satu orang.
Menipisnya ketimpangan pada Maret—September 2015 itu diakibatkan meningkatnya pendapatan kelompok 40% terbawah, yakni dari 17,10% pada Maret 2015 menjadi 17,45% pada September 2015 (BPS, 2016). Pembangunan infrastruktur yang cukup gencar diperkirakan menjadi faktor pendorong besar dalam penurunan ketimpangan belakangan ini. Hal ini juga sejalan dengan apresiasi masyarakat yang kian meningkat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi (Media Indonesia, 18 Maret 2016).
Secara faktual, meningkatnya kepercayaan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi di tengah menurunnya ketimpangan pendapatan itu merupakan momentum bagi pemerintah untuk terus bekerja guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempersempit ketimpangan.
Pemetaan Kebutuhan
Pembangunan infrastruktur akan berhasil optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat kelompok terendah dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, manakala pemerintah mampu memetakan kebutuhan masyarakat dalam menjalankan roda kegiatan ekonomi, terutama di daerah. Hal ini disebabkan setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing, baik dari sisi kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kapasitas institusi.
Pemetaan kebutuhan di tiap daerah itu perlu dilakukan guna menentukan jenis infrastruktur yang diperlukan, seperti kebutuhan jalan, jembatan, pasar, perbankan, pelabuhan, irigasi, dan listrik. Penyediaan jenis infrastruktur yang tepat tidak hanya akan mengurangi ketimpangan, tapi juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan usaha serta kesempatan kerja.
Sejatinya, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lingkaran kemakmuran. Hanmer et al (2000) mengidentifikasi sejumlah faktor positif dari keberadaan infrastruktur, seperti turunnya biaya operasional kegiatan ekonomi, meningkatnya volume kegiatan ekonomi, turunnya biaya input usaha, meningkatnya modal manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi baru, dan kesempatan berusaha dan bekerja. Studi yang dilakukan Sun (2013) di sejumlah negara ASEAN menunjukkan pembangunan infrastruktur menghasilkan efek ganda, yakni penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif.
Keuntungan ganda tersebut diperkirakan dapat terwujud karena pembangunan infrastruktur dapat menggerakkan aspek kesempatan promosi terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia, menurunkan kerentanan terhadap krisis, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Pada sisi modal manusia, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Brenneman and Karf, 2002).
Namun, kegagalan dalam mengidentifikasi kebutuhan masyarakat atas jenis infrastruktur yang diperlukan, pembangunan infrastruktur tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Di India, misalnya, hasil studi Baneerje dan Somanathan (2007) menemukan pembangunan infrastruktur di negara itu justru menguntungkan penduduk berpendapatan tinggi ketimbang penduduk miskin. Sementara itu, di Bangladesh, pembangunan jalan perdesaan hanya berpengaruh sedikit terhadap kesejahteraan masyarakat di perdesaan (Khandker and Koolwal, 2007).
Peluang dan Kapabilitas
Pengalaman di India dan Bangladesh itu sekaligus menegaskan pembangunan infrastruktur tidak selalu berpihak pada penduduk miskin dalam meningkatkan kesejahteraan. Hal ini amat bergantung pada jenis infrastruktur yang dibangun, terbukanya peluang bagi penduduk miskin untuk berusaha dan bekerja, serta kemampuan (kapabilitas) untuk melakukan usaha.
Atas dasar itu, pembangunan infrastruktur perlu dilakukan bersamaan dengan peningkatan kapabilitas penduduk. Bagusnya, peningkatan kapabilitas itu kini menjadi agenda pembangunan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Lebih jauh, Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli menyebutkan pemerintah berencana menggelontorkan Rp44 triliun sampai dengan 2019 untuk kegiatan pelatihan tenaga kerja (Media Indonesia, 20 April 2016).
Di tengah berlangsungnya transformasi ketenagakerjaan yang dipicu arus globalisasi dan revolusi teknologi (Human Development Report, Work for Human Development, 2015), kegiatan pelatihan itu relevan untuk segera dilaksanakan. Upaya itu juga sebagai jalan pintas untuk mengantisipasi rendahnya tingkat pendidikan pekerja di Tanah Air.
Hasil Sakernas Agustus 2015, misalnya, menunjukkan sekitar 44,27% tenaga kerja di Tanah Air berpendidikan paling tinggi SD. Adapun penduduk bekerja yang berpendidikan SMP sebanyak 18,03%, SMA dan SMK sebesar 26,69%, dan berpendidikan D-I/II/III dan Universitas sebesar 11,01% (BPS, 2015).
Selanjutnya, agar peningkatan keahlian tenaga kerja itu menjadi lebih optimal, kiranya perlu dilakukan desentralisasi pusat pelatihan agar tidak terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pemerintahan.
Desentralisasi pusat pelatihan itu juga dimaksudkan agar link and match dengan kebutuhan daerah. Berbagai upaya sepatutnya perlu dilakukan agar pembangunan infrastruktur dapat berfungsi optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan, yang pada gilirannya dapat mempersempit ketimpangan pendapatan.
Namun, pembangunan infrastruktur itu perlu disertai dengan pengawasan ketat, mulai perencanaan hingga tahap implementasi. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur rawan terjadi penyimpangan dan korupsi.Sumber : Lampos.(Red)
Komentar