Seolah pemerintah menutup mata terhadap fakta2 empirik bahwa miras menjadi sumber berbagai kejahatan dan kerusakan. Berbagai kasus pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan dan bermacam kejahatan lain nyata2 terjadi akibat pelakunya dalam pengaruh miras. Makanya dalam Islam khamr disebut “ummul khaba’ith”.
Alasan utama yang dipakai mendagri bahwa perda tersebut bertentangan dengan permendag “pengendalian dan pengawasan miras”, justeru mencedarai sistem hukum kita. Harusnya, justeru permendag-lah yang dicabut, karena jelas bertentangan dengan berbagai Undang-undang: setidaknya UU kesehatan, UU pangan, dan UU perlindungan konsumen. Belum lagi kalau ditarik ke atas, maka permendag jelas bertentangan dengan Pancasila, sila pertama. Karena permendag mengabaikan nilai2 moral dari agama apapun di Indonesia.
Keputusan MA terhadap judicial review Perpres mengenai pengendalian dan pengawasan mihol-pun sepertinya diabaikan begitu saja. Ada apa pemerintah ini ??. Bukankah pemerintah tugasnya melindungi warga bangsa ini dari berbagai kerusakan ?. Atau pemerintah telah menjadi agen kapitalis, pengusaha dan pengedar Miras ?. Siapa yang diuntungkan, siapa pula yang dirugikan ? Jika pemerintah beralasan perlu pendapatan negara dari cukai miras. Cobalah hitung, berapa biaya yang harus dikafer APBN untuk dampak miras, berapa pula kerugian/yang harus ditanggung keluarga2.yang menjadi korban dampak miras ?. Tolong pemerintah jawab semua ini.
Dimana jargon Revolusi Mental yang digembar-gemborkan Jokowi ??.Lip service sajakah ???.(Ais)
Komentar