Oleh : Azkar Badri
Dewan Redaksi Baraknews.com
Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke X di Bali tak lama lagi. Sebuah Forum Tertinggi dalam menentukan Kebijakan Partai dan Ketua Umum (Ketum) PPP mendatang, Lima tahun kedepan, 2025-2029.
Dalam memilih dan menetapkan Ketua Umum PPP tidak segampang membalikan telapak tangan. Sim salabim hadabra gadabra. Terjadilah peralihan kepemimpinan dan menjadi Ketum. Lalu sang Ketua Umum dengan predikatnya sudah menjadi modal sosial untuk mendapat kekuasaan di pemerintahan. Tinggal nunggu reshuffle kabinet. Besar kemungkinan masuk dalam perahu kekuasaan. Selesailah bagi pemburu kekuasaan untuk pribadi dan kelompok kecil sekitarnya. Aman dia nikmati sampai tahun 2029.
Namun yang dibutuhkan adalah Ketua Umum yang tahu dengan persoalan PPP baik di internal mau eksternal. Sanggup dan mampu menyelesaikan persoalan yang berat tersebut. Tanggung jawabnya yang luar biasa untuk membangun partai yang sehat dan kuat serta mendapat tempat di hati umat. Masyarakat pencintanya sudah banyak yang lari harus bisa dipanggil kembali, berkumpul di rumah besar umat Islam. Berat bukan?.
PPP sebuah partai politik yang cukup tua, tahun 1973 didirikan. Dilahirkan oleh para tokoh Islam dari beberapa partai Islam, yang dikenal dengan Fusi. Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Deretan Fusi dari berbagai partai Islam, ini menjadi catatan penting, bahwa partai PPP ini sebuah kesepakatan arena perjuang politik umat Islam untuk ikut andil membangun Indonesia buat kesejahteraan umat lahir batin. Fiqih Siasyah.
Meskipun partai ini partai tua dan lama hidup di era Orde Baru, yang didianggap sebagai pendamping partai pemerintah sa’at itu. Susah untuk dikatakan partai politik pengimbang atau pengentrol pemerintah (Control Balance). Sehingga dianggap tidak bisa mandiri dan cepat dewasa menjadi partai politik yang kuat dan sehat.
Masih beruntung PPP ini sampai sekarang masih ada, meskipun dalam bahasa Arab dikatakan Wujudihi Ka’adamihi, ada sama dengan tidak ada. Sudah ditinggalkan umat/masyarakat konstituen. Otomatis ditinggalkan juga oleh pemerintah, seperti menghitung Ketimun Bungkuk. Tak ada nilai.
Sejarah perpecahan di partai politik memang lumrah, karena pengurus berorientasi kepentingan semua. Kepentingan personal atau kelompok. Apalagi di era Orde Baru, pihak pemerintah kuat mencengkram kekuatan-kekuatan politik yang ada, apalagi partai politik. Sampai partai politik itu bubar sama sekali, contoh PDI bubar dan berdiri PDIP. Termasuk juga PPP sudah beberapa kali.
Sejarah Panjang Konflik Internal PPP
Era Ketua Umum Djaelani Naro yang lebih dikenal John Naro, tahun 1978 sampai 1989. Terjadi perpecahan, Jhon Naro mendeklarasikan sebagai Ketua Umum tanpa melalui Muktamar PPP merebut dari tangan Mohammad Syafa’at Mintareja yang digalang oleh Ali Murtopo representasi pemerintah sa’at itu.
Di era Ketua Umum ini pula terjadi perpecahan, tahun 1982 Nahdlatul Ulama keluar bergabung di PPP, lantaran Naro banyak memangkas Caleg dari unsur NU. Kemudian 2004 berdiri Partai Bintang Reformasi (PBR) dipimpin Kiayi kondang sa’at itu, Kiayi dan Da’i Sejuta Umat, Zainuddin MZ. Partai inipun gulung tikar ketika dipegang oleh Bursa Sarnubi. Tapi sempat mengantarkan kadernya di parlemen DPR RI yang belum berlaku ambang batas nasional.
Dalam kepemimpinan Suryadharma Ali, 2007 sampai 2014. Perpecahan terjadi lantaran aspirasi politik partai dibawanya mendukung Prabowo Subianto dan Harta Radjasa pada Pilpres 2014 dan ternyata kalah.
Polarisasi dalam PPP terjadi, Suryadharma Ali versus kelompok Suharso Monoarfa dan Rohmahurmuziy (Rommy) yang menggalang Pengurus Wilayah. Suryadharma Ali diberhentikan dalam Rapimnas. Namun berhasil dengan diadakan Islah kedua kubu ini. Tapi begitu Kasus Dana Haji meledak dan melibatkan SDA, (Istilah teman dekatnya menyebutkan Suryadharma Ali). Tak terelakan lagi Suryadharma Ali digantikan oleh Rohmahurmuziy (2014-2019).
Dosa keturunan dalam partai ini, dialami juga oleh Rohmahurmuziy yang tersandung kasus Uang Suap Dagang Jabatan di Kemenag, diganti oleh Suharso Monoarfa.
Begitu juga Ketua Umum Suharso Monoarfa dilengserkan di Mukernas Serang Banten, ketika dia sedang tidak ditempat (sedang di Prancis) dengan isu Uang Amplop Kiayi. Diangkatlah sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) Mardiono sampai sekarang.
Kepemimpinan Mardiono dinilai para fungsionaris dan Keluarga Besar PPP punya Dosa Besar, karena gagal menghantarkan perwakilan dari partainya masuk parlemen di Senayan, partai dalam pemilihan legislatif tidak lolos Ambang Batas secara nasional 4 %. Sudah ada kelompok untuk menggoyang Kursi Kepemimpinannya. Maka mungkin sulit bagi Mardiono untuk meneruskan kembali kepemimpinannya di periode kedua.
Perlu Ketua Umum Dari Luar Yang Kuat.
Melihat deretan panjang sejarah konflik di internal partai Islam PPP, menandai PPP bukan partai politik yang kuat dan sehat. Bagaimana para pengurusnya mau berpikir dan bergerak keluar ke masyarakat atau konstituennya dalam hal membesarkan partai kalaulah di dalamnya terjadi konflik atau perpecahan. Sesama mereka terjerat mengurus persoalan internalnya. Waktu terus bergulir masuk ke masa Pemilihan Umum (Pemilu). Tak ada persiapan matang dan strategik. Konstituen lari dan hasil pemilu jauh melorot. Sebetul para pengurus menjadi sebuah aset atau potensi untuk membesarkan partai. Tapi justeru menjadi libilitas (beban) partai yang tak terselesaikan.
Ketua Umum berasal dari luar (bukan dari pengurus), sebuah asumsi Tokoh Akomodatif, yang bisa menghimpun kembali para tokoh atau pengurus yang selama ini dan sekarang telah bercerai berai. Kemudian bersatu kembali dalam tekad yang sama untuk membangun partai yang kuat dan sehat. Merajut kembali kekuatan yang ada, bersinergi. Efek dominonya, masyarakat/konstituen di luar merapat kembali ke pada partai Islam ini. Baik konstituen yang telah lama pergi dan menjadi tamu di partai lain maupun yang baru dan belum terlalu jauh berpaling dari PPP. Ini yang harus dibangun.
Sosok Ketua Umum yang baru ini pula harus Publik Pigur, orang yang selama ini cukup dikenal oleh masyarakat umum. Karena bagaimanapun ia menjadi magnet dalam kepengurusan sendiri maupun kepada masyarakat (konstituen).
Partai PPP masih mengandalkan kepada ketokohan untuk jabatan Ketua Umum. Karena bukan partai kader yang telah terbangun sistem rekruitmen calon pemimpinnya. Mau siapapun tak jadi masalah, asal memenuhi persyaratan dalam sistem perkaderan. PPP sebuah partai berbasis ideologi tentunya sangat kental ketokohan seseorang pemimpinnya.
Dalam kultur budaya Islampun yang terjadi Sosok Tokoh. Informal Leader dalam masyarakat lahir dari ketokohan seseorang, karena titahnya harus dipatuhi dan dilaksanakan tanpa perlu bertanya lagi. Sami’na WA atho’na, kami dengar dan kami laksanakan.
Dalam management partai, sosok Ketua Umum membangun kerjasama, kolektif dan kolegial. Sebuah kebersamaan, team work yang kuat. Tak ada bawahan dan atasan, yang membatasi adalah pembagian tugas (Job discription). Tidak ada istilah patronase politik. Bawahan melayani atasan bukan mengerjakan untuk kepentingan partai. Meskipun lugas, sikap tegas sangat diperlukan bagi sosok Ketua Umum.
Siapakah Sosok atau Tokoh yang masuk dalam konsep ini. Tentu jawabannya ada pada pemegang hak suara dari PPP yang berkeinginan partai ini menjadi partai yang kuat dan sehat. Semoga.