Pangandaran-‘ Sebagai wujud amanah undang – undang dalam pelaksanaan keterbukaan informasi publik seharusnya semua bisa diakses oleh masyarakat, namun hal ini tidak berlaku di Legislatif atau DPRD Kabupaten Pangandaran.
DPRD sebagai fungsi pengawas dari eksekutif di Pemerintahan Daerah dan juga wakil dari masyarakat harusnya bisa memberikan edukasi dan pertanggungjawabannya kepada publik.
Terlebih jika terkait tentang sebuah tata pengelolaan laporan keuangan daerah yang sudah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), yang tentu tujuannya adalah memberikan ruang kepada masyarakat dan berperan serta ikut dalam pengawasan.
Selain itu juga memacu peran serta masyarakat dalam mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), agar tercipta kepemerintahan yang baik (good governance).
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang telah diserahkan kepada DPRD dikategorikan sebagai sebagai informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala karena LHP diterbitkan secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu.
Jauh sebelum diberlakukannya UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14 Tahun 2008, Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara jo. Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Ini merupakan bentuk penghargaan terhadap Hak Atas Informasi yang dimiliki oleh setiap warga negara atau masyarakat.
Dalam pemaparan dan dasar penjelasan diatas maka bisa disimpulkan bahwa Keterbukaan Informasi Publik merupakan hak atas informasi bagi setiap warga masyarakat, maka seharusnya selaku pimpinan DPRD lebih terbuka, tranparansi ke publik.
Menyoal perihal tersebut dari beberapa anggota DPRD Pangandaran yang ditemui, membenarkan bahwa LHP BPK RI tidak mereka terima dari pimpinan DPRD Pangandaran hingga sekarang.
Jurnalis konfirmasi kepada dua Wakil Ketua 1 dan Wakil Ketua 2 DPRD Pangandaran pun memainkan perihal tersebut.
Ada apa dengan pimpinan DPRD Pangandaran hingga LHP BPK RI tidak diberikan kepada anggota DPRD, sementara argo terus berjalan 60 hari kerja atas temuan BPK RI Pemda harus berikan penjelasan dan Ketua DPRD tidak ada penjelasan kenapa LHP BPK RI tidak diberikan kepada anggotanya.
Masyarakat Pangandaran mempertanyakan atas kinerja dari pimpinan DPRD dan harus bisa menjelaskan ke publik mengapa demikian.
Bagaimana kita bisa melaksanakan good governance, pansus DPRD Pangandaran saja meminta LHP saja langsung ke kantor BPK RI wilayah III Jawa Barat di Bandung beberapa waktu lalu. Dagelan apa yang dimainkan oleh pucuk pimpinan DPRD Pangandaran.
Sebagai sosial kontrol ketika mengkonfirmasi ke beberapa anggota komisi DPRD khususnya di Komisi III dan Komisi IV, bahkan ketika Komisi meminta rapat dengan mitra kerja di SKPD, pimpinan DPRD hingga sekarang tidak mau menandatangani surat permohonan rapat dengan SKPD.
Kami menilai bahwa pimpinan DPRD Pangandaran terkesan menutupi terkait laporan BPK RI, bagaimana masyarakat bisa mengetahui secara rinci, anggota DPRD saja tidak diberikan LHP BPK RI.
Yang lebih parahnya lagi sidang paripurna DPRD terkait pembahasan hasil pansus terhadap laporan keuangan daerah 2023, banyak anggota DPRD yang tidak hadir dan menjadi pertanyaan besar bagi publik kemana mereka, apa kerja mereka.
Jika ini dibiarkan maka konsep trias politika yang bersifat pemisahan kekuasaan, yang dikemukakan pertama kali oleh Jhon Locke dan dikembangkan oleh Montesquieu, yang tujuannya untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut, akan mencederai.
Maka peran serta masyarakat dalam kontrol Trias politika menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk kepedulian atas keberlangsungan kepemerintahan.