Bandung – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Yang terbaru adalah OTT terhadap salah seorang petinggi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, yakni auditor utama yang diduga menerima suap dari pejabat di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Tindakan penyuapan tersebut ditengarai terkait dengan pemberian opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) oleh BPK terhadap hasil audit Laporan Keuangan (LK) Kementerian Desa Tahun Anggaran 2016.
Penangkapan itu sangat ironis, mengingat BPK adalah lembaga audit keuangan negara yang menjadi garda terdepan dalam gerakan pemberantasan korupsi khususnya dalam aspek pencegahan.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU BPK yang menyatakan lembaga ini sebagai “supreme auditor” keuangan negara. Artinya setiap pengelola keuangan negara wajib menyampaikan laporannya kepada BPK dan kemudian dilaksanakan pemeriksaan keuangan.
Dari hasil pemeriksaaan laporan keuangan ini akan diberikan predikat atau opini terhadap penyajian laporan tersebut. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah penilaian tertinggi, kemudian menyusul dibawahnya opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dan yang terburuk adalah opini Tidak Wajar (TW).
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, tidak hanya kali ini saja oknum auditor atau pegawai BPK diduga terlibat dalam kasus suap. Sejak tahun 2005 sampai Mei 2017 setidaknya tercatat enam kasus suap yang melibatkan 23 pejabat di BPK.
Jika ditelisik lebih lanjut, dugaan suap yang melibatkan pejabat BPK sebagian besar terkait dengan tugas mereka dalam memeriksa laporan keuangan negara, termasuk dalam memberikan opini atas laporan keuangan yang disajikan.
Auditor BPK memiliki wewenang untuk memberikan opini laporan keuangan, dan dalam kasus Rochmadi Saptogiri dkk yang ditangkap KPK misalnya, ada indikasi kuat bahwa pihak penyuap, yakni Kemendes mengharapkan opini dengan predikat WTP dari pihak penerima suap, BPK.
Perlu diluruskan bahwa opini WTP sekalipun tidak menjadi jaminan bahwa pengelolaan laporan keuangan lembaga pemerintah atau instansi tertentu bebas dari korupsi dan penyimpangan. Hal ini dikarenakan pemeriksaan laporan keuangan hanya dilakukan untuk melihat apakah penyajian LK tersebut sudah sesuai dengan Standar Pelaporan Keuangan Negara, dan disajikan secara wajar dan memadai.
Dalam prakteknya, sangat disayangkan predikat WTP ini disalah-artikan oleh sebagian penyelenggara negara, dimana predikat ini dianggap gengsi tertinggi dan jaminan bahwa mereka bersih dari korupsi. Akibatnya, untuk mendapatkan predikat WTP segala cara pun dihalalkan, bahkan dengan menyuap dan patgulipat dengan oknum pejabat pemeriksa.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kini menjadi perhatian masyarakat usai sejumlah pimpinan dan anggotanya tersandung kasus korupsi. Hal ini tentu menjadi ironi. Pasalnya, BPK seharusnya bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) sekaligus eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun pernah mengkritik peran BPK. Ia merasa keberatan karena tidak ada pihak ketiga yang mengawasi lembaga itu.
Ahok juga sempat menantang petinggi BPK untuk memperlihatkan jati diri jika memang bersih dari suap. Ia juga menyebut bahwa BPK sering mencari masalah supaya bisa mendapatkan keuntungan yang bersifat pribadi dari pejabat-pejabat.
Ahok juga sempat menuduh BPK tak beres melakukan pekerjaannya. Ia menyebut BPK ‘ngaco’ dalam audit investigasi yang diterbitkan.
Terbaru, pemeriksa BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat Daya terlibat kasus dugaan suap Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso. Kasus ini turut menyeret sejumlah anggota BPK.
Berikut daftar 7 pimpinan dan anggota BPK yang terjerat kasus korupsi :
1. Patrice Lumumba Sihombing
Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Daya Patrice Lumumba Sihombing resmi menjadi tersangka penerima suap dari Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso.
Patrice menjabat sebagai Kepala BPK Papua Barat sejak Agustus 2022. Ia menggantikan Kepala BPK sebelumnya yakni Muhammad Abidin. Sebelum menjadi Kepala BPK Papua Barat, ia pernah menjadi Kepala Subauditorat Sulawesi Tenggara.
Ia juga sempat menjadi Sub Auditorat Kepala BPK Papua. Tak hanya itu, Patrice tercatat pernah bertugas di BPK Kalimantan Barat sebagai Sub Auditorat Kepala BPK dan Kepala Sub Auditorat Kalimantan Barat 1.
2. Abu Hanifa
Kasubaud BPK Provinsi Papua Barat Daya Abu Hanifa jadi salah satu di antara pihak yang menjadi tersangka kasus suap Pj Bupati Sorong. Sebelum bertugas di BPK Papua Barat, ia menjabat sebagai Pemeriksa Muda Auditorat Utama Keuangan Negara 1.
3. David Patasaung
Bersama dengan Abu Hanifa dan Patrice Lumumba Sihombing, David Patasaung juga menjadi tersangka kasus suap Pj Bupati Sorong. Sebelum bertugas di BPK Papua Barat, David merupakan Pemeriksa Ahli Muda di BPK Sulawesi Barat. Selain itu ia juga sempat menjadi pemeriksa pertama Auditor Utama Keuangan Negara BPK RI.
Sebagai penerima suap mereka bertiga disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam operasi senyap pertengahan November 2023 lalu, tim Komisi Pemberantasan (KPK) menemukan dan mengamankan uang tunai sejumlah sekitar Rp1,8 miliar dan satu unit jam tangan merek Rolex.
4. Anggota BPK Achsanul Qosasi
Tak hanya kasus di Sorong, unsur BPK juga terlibat dalam kasus korupsi berskala nasional. Masih di November 2023, Kejaksaan Agung menetapkan anggota BPK Achsanul Qosasi sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan menara BTS 4G Kominfo.
Achsanul menjadi tersangka ke-16 dalam kasus dugaan korupsi Menara BTS 4G Kemenkominfo.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kuntadi menyebut Achsanul dijerat Pasal 12 b 12 e atau pasal 5 ayat 1 jo pasal 15 uu tipikor atau pasal 5 ayat 1 tentang Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Achsanul diduga menerima uang Rp 40 miliar disebuah Hotel di Jakarta Pusat, pada Juli 2022 lalu.
5. Rizal Djalil
Pada 2021, mantan anggota IV BPK Rizal Djalil divonis empat tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juta subsidier tiga bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Rizal dinilai terbukti menerima S$100 ribu atau sekitar Rp 1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Rizal disebut telah mengupayakan PT Minarta menjadi pelaksana proyek pembangunan Jaringan Distribusi Utama Sistem Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (JDU SPAM IKK) Hongaria Paket 2 pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Rizal dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Ali Sadli
Pada 2018, Jaksa Penuntut Umum menuntut auditor BPK Ali Sadli 10 tahun penjara dan dengan Rp 300 juta subsidier 6 bulan kurungan. Ali dinilai terbukti menerima suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang.
Ali juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 325 juta subsidier satu tahun kurungan. Jaksa menyatakan perbuatan Ali tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu Ali dinilai sengaja memanfaatkan jabatan untuk memperoleh kekayaan bagi diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Kendati demikian, jaksa mempertimbangkan sikap Ali yang mengakui menerima uang, untuk meringankan tuntutan.
Dalam perkara ini, Ali didakwa menerima suap Rp 240 juta dari pejabat Kemendes terkait opini perolehan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Selain suap, jaksa juga mendakwa Ali menerima gratifikasi. Penerimaan gratifikasi itu diduga disamarkan dalam berbagai aset untuk menutupi asal-usulnya.
7. Rochmadi Saptogiri
Dalam kasus yang sama dengan Ali, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidier empat bulan kurungan pada mantan auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri.
Dalam perkara ini, Rochmadi didakwa menerima suap bersama auditor BPK Ali Sadli sebesar Rp 240 juta dari pejabat Kemendes Sugito dan Jarot Budi Prabowo. Suap itu diduga terkait pemberian opini WTP terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Selain menerima suap, jaksa juga mendakwa Rochmadi menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang senilai Rp 3,5 miliar. Uang itu digunakan Rochmadi untuk membeli sebidang tanah kavling seluas 329 meter persegi di Kebayoran Essence KE/1-15, Bintaro, Tangerang dari PT Jaya Real Property dalam kurun waktu 2014.
Jadi, jika predikat laporan keuangan dan demi memuluskan hasil pemeriksaan mudah dibeli dengan uang suap serta jamuan akomodasi, maka siklus korupsi tidak akan pernah berhenti.
Dari kasus ini, sudah saatnya BPK bercermin diri, memeriksa kembali tata kelola organisasinya, terutama bagaimana membangun kultur akuntabilitas atas diskresi dan wewenang mereka untuk memberikan opini atas laporan keuangan, sehingga BPK benar-benar akan menjadi lembaga yang Bebas, Mandiri dengan kerja Berintegritas, Independen, Profesional sebagaimana slogan mereka.
Selain harus sungguh-sungguh berbenah, mereka semua yang ada di BPK harus ingat Mati, ingat Hukum Tuhan yang akan selalu berlaku, baik didunia maupun akhirat. Maka, mereka harus benar-benar menjalankan tugasnya dan menjaga amanah serta kepercayaan dari seluruh rakyat indonesia. Karena jika mereka tidak amanah, maka akan menambah penderitaan dan melukai jutaan hati rakyat.
Penulis : Agus Jaya Sudrajat